Oleh : Ani Khairani
Novel KEMI, sebuah novel perdana Dr. Adian Husaini, adalah novel yang berbobot secara isi, penuh ilmu dalam kontennya. Kekuatan novel ini justeru pada kandungannya yang disajikan dalam bentuk diskusi, tepat sekali dan berguna untuk menjadi bahan menjawab pandangan-pandangan orang-orang yang sudah teracuni pikirannya dengan pluralisme. Tapi jangan harap mendapatkan deskripsi lokasi dan tempat serta perasaan setajam seperti Novel ayat-ayat cinta atau sejenisnya. Penggambaran perasaan dan lokasi-lokasi tempat sederhana saja.
Ketika membaca per-tiap halamannya, tampak sedikit banyak bermunculanlah wajah-wajah sahabat dan teman yang kondisinya sedikit banyak mirip dengan KEMI, walau belum berakhir dan belum sampai masuk RS jiwa tentunya. Terkadang, dalam meluruskan pola pikir mereka pada dunia nyata ini sedikit bingung mulai dari mana, untung saja tertolong oleh tokoh Rahmat yang memang memerankan tokoh yang meluruskan pandangan yang menyimpang melalui dialog. Gambaran karakter Rahmat yang penuh percaya diri, lurus dalam Aqidah, mau belajar, dan pengambil resiko. Kalau dilihat dari advercity Quotient, bisa dikatagorikan di karakter Climbers, mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan walau sekecil apapun untuk maju. Semakin tinggi ia naik, maka semakin luas dan indah pula ia melihat pemandangan. Mereka sangat menikmati tantangan dan kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan tugas-tugasya. Semakin berat dan sulit tantangan yang dihadapi mereka semakin tertarik.
Beberapa teman dan sahabat tersebut saya beri rekomendasi untuk membaca buku KEMI ini. Namun, sedikit banyak saya curiga, jangankan membaca, melihat saja mungkin mereka sudah alergi. Terkotakkan dengan pola pikir mereka, yang mungkin pun secara tak sengaja, terbawa dan terjerumus dengan idealismenya sendiri yang tanpa dikuatkan kembali ke basic pemahaman agamanya.
Kalau di perhatikan yang membuat saya tertarik adalah bagaimana karakter KEMI dan orang-orang seperti KEMI ini sebetulnya. Dari analisis asal-asalan saya, dengan basic ilmu psikologi yang saya dapat juga di kampus sekular, tampak bahwa karakter yang muncul adalah utamanya adalah inferioritas. Namun, inferioritas ini didukung dengan keingintahuan yang tinggi, keraguan akan ilmu yang dimiliki, dan vokal dalam berbicara, membuat karakter yang tampil justeru kebalikannya, merasa superior, percaya diri dan logis rasional, tampak seakan tampil sebagai orang yang modern secara pemikiran. Jadi sebetulnya, karakter yang muncul dari tokoh-tokoh pluralisme yang mengusung sekularisme dan liberalisme ini justeru tampak seperti karakternya peradaban barat yang berdiri pada landasan dan dasar yang rapuh (maaf jadi menyambung dengan resume buku satu lagi: wajah peradaban barat). Inferioritas yang saya bicarakan disini seperti contohnya, merasa tidak mampu; bisa dalam hal finansial, berasal dari lingkungan yang jauh berbeda dengan kondisi metropolitan sehingga mudah silau dan mudah berkeinginan, keraguan akan kemampuan dan pola pikir diri sendiri, kurang bisa menyaring ilmu hasil dari keingintahuannya yang begitu besar, mudah terpesona dengan sesuatu yang baru. Sayangnya, diakhiri dengan kerusakan otak fatal, yang tidak dapat mengembalikan kesadarannya akan dunia. Sering terbayang berbagai perkiraan di benak saya bagaimana ketentuan akhir Allah Swt ketika penghisab-an nanti terhadap KEMI ini, atau orang-orang sepertinya.
Namun, bagaimana karakter tokoh-tokoh cendekiawan seperti para Profesor Abdul Malikan dan Kyai Dulpikir yang ada di kampus damai sentosa. Kalau saya tidak salah menilai, motif mereka lebih karena ingin memenuhi kebutuhan eksistensinya. Selain aspek pragmatis maupun motif ekonomi. Gambaran Ilmuwan yang justeru tidak mau belajar yang benar dan egois. Gambaran mahluk yang keji, karena menyebarkan ilmu yang salah kepada orang lain. Saya yakin, gambaran ‘sakit’ psikologisnya akan konsisten ditampilkan dalam kehidupannya sehari-hari. Namun tertutupi dengan rasa superioritasnya sendiri. Bersyukur Kyai Dulpikir sempat bertobat diakhir hidupnya.
Bagaimana tokoh Roman, otak dari penyebaran paham-paham ini dengan berlandaskan motif ekonomi. Menggunakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan, dengan menyamar sebagai mahasiswa di sebuah Institut Studi Lintas Agama, tempat Kemi. Ternyata dia sendiri seorang residivis, pemimpin satu kelompok penjahat kerah putih yang berulangkali berhasil membobol mesin ATM sejumlah bank. Ia berngalaman dalam dunia bisnis dan politik internasional. Ia tahu ada dana yang luar biasa besar untuk proyek-proyek liberalisasi di dunia Muslim. Dana itu hanya bisa dicairkan dengan merekrut santri-santri dan intelektual Muslim yang cerdas, yang digunakan sebagai ujung tombak proyek-proyek liberalisasi. Di sinilah otak bisnis Roman berjalan. Ia membangun jaringan yang luas di kalangan yayasan-yayasan asing, pemerintah, dan LSM-LSM lokal. Sejumlah alumni pesantren direkrutnya. Mereka diberi tugas membuat proposal, memberikan pelatihan, dan membuat laporan kepada LSM-LSM yang dikendalikan Roman. Kemi adalah salah satu santri yang menjadi korban skenario Roman. Ia terjebak dalam aktivitas liberalisasi dengan mendapatkan imbalan beasiswa kuliah gratis dan biaya hidup bulanan. Pikiran Kemi sudah terlanjur liberal. Ia terjerat oleh pikirannya sendiri. Ia terjerat oleh jerat-jerat liberal yang dipasang Roman.
Tiga macam tokoh ini rupanya berkolaborasi dan menguatkan. Satu sama lain akan melihat sebuah masalah dari aspek yang menguntungkan kepentingannya masing-masing. Sampai saya berpikir, mana bagian dari mereka yang harus diputus duluan rantainya, sehingga bisa menyelesaikan permasalahnnya. Walaupun akhrinya saya optimis, bahwa kebatilan mempunyai self destruction sendiri, tinggal kita tunggu saja kapan, sambil menguatkan diri ini dengan keilmuan dan amal yang nyata dalam kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Siti, seorang korban tambahan, karakter jiwa yang mewakili seorang wanita, dengan kecerdasannya dan kemanjaannya. Saya justeru melihat kemandirian yang ditampilkan Siti, adalah menutupi kemanjaannya dan ketidakmatangan emosinya. Beruntungnya, masih ada usaha untuk menggapai kembali hidayah-Nya. Sehingga hal ini menjadi momentum balik menjadikannya akhir yang cemerlang dalam sisi kebaikannya. Sambil berharap, semoga saudari-saudariku yang juga ‘terpeleset’ pada lingkaran setan plularisme, dapat kembali mendapatkan cahaya-Nya, dan berakhir seperti seperti gambaran tokoh ini.
Akhir kata, saya tutup makalah ini dengan sedikit ‘coretan kata’. Setelah saya baca novel ini untuk pertama kalinya, bulan maret 2011. Setelah itu, saya menulis di sebuah catatan yang disebar dijejaring sosial tentang kesan saya terhadap nilai-nilai yang terinternalisasi dari novel ini.
Cerita Si Kotak
by Ani Khairani on Thursday, March 24, 2011 at 4:16pm
Seorang teman berkata: "aku tak ingin hidup dalam kotak",
Tak sadarkah, ia pun sedang membangun kotaknya sendiri...
Seorang teman merasa bijaksana, dia berkata: "Aku dapat melihat dan merasa pada semua kotak2 yang ada, karena aku bukan didalam salah satu kotaknya"
Tak sadarkah, bahwa ia hanya duduk dikotaknya sendiri, yang tak dapat melampaui Sang pencipta kotak yang duduk paling tinggi...
Kotak....kotak...
yang dirindu yang dibenci... ditinggalkan dan diganti2, bahkan dijual dan dilempari, seperti barang yang tak berarti...
Marilah, Hiduplah dikotakmu, pelajari setiap sisinya, perindah setiap ruangnya... Syukurilah dan bersabarlah didalamnya...
Hati-hati tentu, pada mata yang selalu melihatmu dengan ngeri, dengan iri, dengan dengki, diantara kotak-kotak yang mengeliingi... pertahankanlah kotakmu jangan sampai diambil oleh yang bukan hak-nya...
Berbahagialah, karena kotakmu betul2 datang dari Sang Maha Pencipta Kotak... bukan diberi dari pemilik kotak2 yang lain, atau bukan hasil curian, atau bukan hasil penjualan yang merugi, atau bukan yang diganti2...
Jika memang kotakmu telah kandas... bahkan dicuri, ataupun hancur tak bertepi... Ingat Sang Maha Pengampun, Maha Penggenggam Jiwa setiap Kotak..... Berserahlah pada-Nya... Karena RahmatNya lebih Luas melebihi Ampunan-Nya...
(*terinspirasi cerita SiKEMI)