Tentang Kami

UNIK.EDU Plus adalah lembaga konsultan psikologi yang bergerak di bidang pendidikan yang berdiri pada tahun 2007. Integralitas pelayanan menjadi fokus kami, dimana tidak hanya individu dalam konteks anak didik saja. Melainkan juga para orang tua dan guru sebagai elemen penggerak dan sangat penting dalam kesuksesan sebuah pendidikan. Sehingga kami dapat memberikan pelayanan yang profesional, komprehensif dan akurat kepada pengguna jasa layanan kami. Misi utama Lembaga konsultan ini adalah mengoptimalkan aspek kognitif, afektif dan motorik anak usia dini, pelajar, mahasiswa, guru dan orang dewasa melalui pelayanan assesmen psikologik yang berorientasi pada ketepatan diagnostik dan penanganan, peningkatan keterampilan melalui kursus dan pelatihan serta memberikan pelayanan konseling psikologik.

BERANDA

Sabtu, 17 Desember 2011

KEMI: KEMI: CINTA KEBEBASAN YANG TERSESAT


Oleh : Ani Khairani

Novel KEMI, sebuah novel perdana Dr. Adian Husaini, adalah novel yang berbobot secara isi, penuh ilmu dalam kontennya. Kekuatan novel ini justeru pada kandungannya yang disajikan dalam bentuk diskusi, tepat sekali dan berguna untuk menjadi bahan menjawab pandangan-pandangan orang-orang yang sudah teracuni pikirannya dengan pluralisme. Tapi jangan harap mendapatkan deskripsi lokasi dan tempat serta perasaan setajam seperti Novel ayat-ayat cinta atau sejenisnya. Penggambaran perasaan dan lokasi-lokasi tempat sederhana saja.
Ketika membaca per-tiap halamannya, tampak sedikit banyak bermunculanlah wajah-wajah sahabat dan teman yang kondisinya sedikit banyak mirip dengan KEMI, walau belum berakhir dan belum sampai masuk RS jiwa tentunya. Terkadang, dalam meluruskan pola pikir mereka pada dunia nyata ini sedikit bingung mulai dari mana, untung saja tertolong oleh tokoh Rahmat yang memang memerankan tokoh yang meluruskan pandangan yang menyimpang melalui dialog. Gambaran karakter Rahmat yang penuh percaya diri, lurus dalam Aqidah, mau belajar, dan pengambil resiko. Kalau dilihat dari advercity Quotient, bisa dikatagorikan di karakter Climbers, mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan walau sekecil apapun untuk maju. Semakin tinggi ia naik, maka semakin luas dan indah pula ia melihat pemandangan. Mereka sangat menikmati tantangan dan kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan tugas-tugasya. Semakin berat dan sulit tantangan yang dihadapi mereka semakin tertarik.
 Beberapa teman dan sahabat tersebut saya beri rekomendasi untuk membaca buku KEMI ini. Namun, sedikit banyak saya curiga, jangankan membaca, melihat saja mungkin mereka sudah alergi. Terkotakkan dengan pola pikir mereka, yang mungkin pun secara tak sengaja, terbawa dan terjerumus dengan idealismenya sendiri yang tanpa dikuatkan kembali ke basic pemahaman agamanya.
Kalau di perhatikan yang membuat saya tertarik adalah bagaimana karakter KEMI dan orang-orang seperti KEMI ini sebetulnya. Dari analisis asal-asalan saya, dengan basic ilmu psikologi yang saya dapat juga di kampus sekular, tampak bahwa karakter yang muncul adalah utamanya adalah inferioritas. Namun, inferioritas ini didukung dengan keingintahuan yang tinggi, keraguan akan ilmu yang dimiliki, dan vokal dalam berbicara, membuat karakter yang tampil justeru kebalikannya, merasa superior, percaya diri dan logis rasional, tampak seakan tampil sebagai orang yang modern secara pemikiran. Jadi sebetulnya, karakter yang muncul dari tokoh-tokoh pluralisme yang mengusung sekularisme dan liberalisme ini justeru tampak seperti karakternya peradaban barat yang berdiri pada landasan dan dasar yang rapuh (maaf jadi menyambung dengan resume buku satu lagi: wajah peradaban barat). Inferioritas yang saya bicarakan disini seperti contohnya, merasa tidak mampu; bisa dalam hal finansial, berasal dari lingkungan yang jauh berbeda dengan kondisi metropolitan sehingga mudah silau dan mudah berkeinginan, keraguan akan kemampuan dan pola pikir diri sendiri,  kurang bisa menyaring ilmu hasil dari keingintahuannya yang begitu besar, mudah terpesona dengan sesuatu yang baru. Sayangnya, diakhiri dengan kerusakan otak fatal, yang tidak dapat mengembalikan kesadarannya akan dunia. Sering terbayang berbagai perkiraan di benak saya bagaimana ketentuan akhir Allah Swt ketika penghisab-an nanti terhadap KEMI ini, atau orang-orang sepertinya.
Namun, bagaimana karakter tokoh-tokoh cendekiawan seperti para Profesor Abdul Malikan dan Kyai Dulpikir yang ada di kampus damai sentosa. Kalau saya tidak salah menilai, motif mereka lebih karena ingin memenuhi kebutuhan eksistensinya. Selain aspek pragmatis maupun motif ekonomi. Gambaran Ilmuwan yang justeru tidak mau belajar yang benar dan egois. Gambaran mahluk yang keji, karena menyebarkan ilmu yang salah kepada orang lain. Saya yakin, gambaran ‘sakit’ psikologisnya akan konsisten ditampilkan dalam kehidupannya sehari-hari. Namun tertutupi dengan rasa superioritasnya sendiri. Bersyukur Kyai Dulpikir sempat bertobat diakhir hidupnya.
Bagaimana tokoh Roman, otak dari penyebaran paham-paham ini dengan berlandaskan motif ekonomi. Menggunakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan, dengan menyamar sebagai mahasiswa di sebuah Institut Studi Lintas Agama, tempat Kemi. Ternyata dia sendiri seorang residivis, pemimpin satu kelompok penjahat kerah putih yang berulangkali berhasil membobol mesin ATM sejumlah bank. Ia berngalaman dalam dunia bisnis dan politik internasional. Ia tahu ada dana yang luar biasa besar untuk proyek-proyek liberalisasi di dunia Muslim. Dana itu hanya bisa dicairkan dengan merekrut santri-santri dan intelektual Muslim yang cerdas, yang digunakan sebagai ujung tombak proyek-proyek liberalisasi. Di sinilah otak bisnis Roman berjalan. Ia membangun jaringan yang luas di kalangan yayasan-yayasan asing, pemerintah, dan LSM-LSM lokal. Sejumlah alumni pesantren direkrutnya. Mereka diberi tugas membuat proposal, memberikan pelatihan, dan membuat laporan kepada LSM-LSM yang dikendalikan Roman. Kemi adalah salah satu santri yang menjadi korban skenario Roman. Ia terjebak dalam aktivitas liberalisasi dengan mendapatkan imbalan beasiswa kuliah gratis dan biaya hidup bulanan. Pikiran Kemi sudah terlanjur liberal. Ia terjerat oleh pikirannya sendiri. Ia terjerat oleh jerat-jerat liberal yang dipasang Roman.
Tiga macam tokoh ini rupanya berkolaborasi dan menguatkan. Satu sama lain akan melihat sebuah masalah dari aspek yang menguntungkan kepentingannya masing-masing. Sampai saya berpikir, mana bagian dari mereka yang harus diputus duluan rantainya, sehingga bisa menyelesaikan permasalahnnya. Walaupun akhrinya saya optimis, bahwa kebatilan mempunyai self destruction sendiri, tinggal kita tunggu saja kapan, sambil menguatkan diri ini dengan keilmuan dan amal yang nyata dalam kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Siti, seorang korban tambahan, karakter jiwa yang mewakili seorang wanita, dengan kecerdasannya dan kemanjaannya. Saya justeru melihat kemandirian yang ditampilkan Siti, adalah menutupi kemanjaannya dan ketidakmatangan emosinya. Beruntungnya, masih ada usaha untuk menggapai kembali hidayah-Nya. Sehingga hal ini menjadi momentum balik menjadikannya akhir yang cemerlang dalam sisi kebaikannya. Sambil berharap, semoga saudari-saudariku yang juga ‘terpeleset’ pada lingkaran setan plularisme, dapat kembali mendapatkan cahaya-Nya, dan berakhir seperti  seperti gambaran tokoh ini.
Akhir kata, saya tutup makalah ini dengan sedikit ‘coretan kata’. Setelah saya baca novel ini untuk pertama kalinya, bulan maret 2011. Setelah itu, saya menulis di sebuah catatan yang disebar dijejaring sosial tentang kesan saya terhadap nilai-nilai yang terinternalisasi dari novel ini.  

Cerita Si Kotak

by Ani Khairani on Thursday, March 24, 2011 at 4:16pm


Seorang teman berkata: "aku tak ingin hidup dalam kotak",
Tak sadarkah, ia pun sedang membangun kotaknya sendiri...

Seorang teman merasa bijaksana, dia berkata: "Aku dapat melihat dan merasa pada semua kotak2 yang ada, karena aku bukan didalam salah satu kotaknya"
Tak sadarkah, bahwa ia hanya duduk dikotaknya sendiri, yang tak dapat melampaui Sang pencipta kotak yang duduk paling tinggi...

Kotak....kotak...
yang dirindu yang dibenci... ditinggalkan dan diganti2, bahkan dijual dan dilempari, seperti barang yang tak berarti...

Marilah, Hiduplah dikotakmu, pelajari setiap sisinya, perindah setiap ruangnya... Syukurilah dan bersabarlah didalamnya...

Hati-hati tentu, pada mata yang selalu melihatmu dengan ngeri, dengan iri, dengan dengki, diantara kotak-kotak yang mengeliingi... pertahankanlah kotakmu jangan sampai diambil oleh yang bukan hak-nya...

Berbahagialah, karena kotakmu betul2 datang dari Sang Maha Pencipta Kotak... bukan diberi dari pemilik kotak2 yang lain, atau bukan hasil curian, atau bukan hasil penjualan yang merugi, atau bukan yang diganti2...

Jika memang kotakmu telah kandas... bahkan dicuri, ataupun hancur tak bertepi... Ingat Sang Maha Pengampun, Maha Penggenggam Jiwa setiap Kotak..... Berserahlah pada-Nya... Karena RahmatNya lebih Luas melebihi Ampunan-Nya...

(*terinspirasi cerita SiKEMI)

Tujuan Pendidikan

Oleh: Ani Khairani, M. Psi, Psikolog. 
@Desember 2011

Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan tujuannya bertahap dan bertingkat pula.

Dalam Literatur barat Tujuan pendidikan di gambarkan sebagai berikut :
The Aim of Education : Filosofi
Goals : Tujuan pendidikan pada tingkat bangsa, separuh filosofi separuh ilmu
Objectives : Tujuan yang bisa diukur (Operasional Measurable)
Target  : Tujuan antara
Di negara Indonesia terdapat kecacatan dari tujuan pendidikan, sebab yang mereka harapkan dari tujuan itu menjadi manusia yang berjiwa Pancasila. Memang bukan pekerjaan yang sangat mudah, mungkin saja seseorang tidak mampu mengungkapkan kriteria manusia yang terbaik itu, ada saja pandangan yang berbeda seperti apabila pandangnannya berupa agama. Maka yang dikatakan tujuan terbaik itu merupakan pandangan agama, begitupun sebaliknya dengan pandangan filsafat, yang dikatakan pendidikan yang terbaik adalah yang berorientasi kepada filsafat. Perbedaan itu dapat dipersempit tatkala negara sendiri yang menetapkan tujuan tersebut.
Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis.
Untuk merumuskan tujuan pendidikan islam,  harus diketahui terlebih dahulu ciri manusia sempurna menurut islam untuk mengetahui ciri manusia sempurna menurut islam maka harus diketahui terlebih dahulu hakikat manusia menurut islam.

Tujuan pendidikan adalah membantu manusia menjadi manusia (Proses), dalam arti  menjadi manusia dewasa. Hal ini beruhubungan dengan konsep/pemahaman terhadap tujuan manusia diciptakan. Inti manusia adalah sesuatu yang Ilahiyah, mencapai Khalifatul Fil Ardl dalam arti menjadikan manusia sebagai wakil Tuhan yang memiliki sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang dikhalifahi. Hal ini diimplementasikan dalam kurikulumnya, dengan penerapan Asmaul Husna. Sifat-sifat Tuhan yang tampil dalam perilaku manusia ini terlihat dan terasa oleh manusia yang lain,bukan dalam bentuk orang tersebut merasa sebagai Tuhan.
Menggunakan format turunan tentang tujuan pendidikan,  maka tujuan pendidikan Islam dapat dijabarkan sebagai berikut :
The Aim of Education  : secara filosofi tujuan pendidikan Islam adalah mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua dimensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Hal ini mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan pencipta alam.

Goals: Mencetak individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Hal ini merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah Saw Membentuk manusia menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.

Objectives       : Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat, Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat, Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Target :  Pencapaian tujuan yang bersangkut paut langsung dengan proses pendidikan. Akhlaq yang tampil dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan dan pengamalan ibadah yang konsisten untuk menguatkan perilaku yang dapat terukur, untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi.

Cukup kuatkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat pendidikan di Indonesia?

Oleh : ANI KHAIRANI

Setiap negara harus mempunyai dasar negara. Dasar negara merupakan fundamen atau pondasi dari bangunan negara. Kuatnya fundamen negara akan menguatkan berdirinya negara itu. Kerapuhan fundamen suatu negara, berakibat lemahnya negara tersebut. Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee). Negara kita Indonesia, dalam pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara ini dilandasi oleh filsafat atau ideologi pancasila. Fundamen negara ini harus tetap kuat dan kokoh serta tidak mungkin diubah. Mengubah fundamen, dasar, atau ideology berarti mengubah eksistensi dan sifat negara. Keutuhan negara dan bangsa bertolak dari sudut kuat atau lemahnya bangsa itu berpegang kepada dasar negaranya.
Menurut ketetapan MPR No. II/MPR/1968, Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan negara kita. Di samping itu, bagi kita Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Kesadaran dan cita-cita moral Pancasila sudah berurat berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia,yang mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan, jika dapat dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia secara pribadi, dalam hubungan dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah, dan kebahagiaan rohaniah. Dengan adanya kemerdekaan Indonesia, maka Pancasila itu bukanlah lahir, atau baru dijelmakan, tetapi sebenarnya, dengan adanya kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, Pancasila itu bangkit kembali " ( M. Nasroen, dalam Pantjasila Pusaka Lama , 1954 )Oleh sebab Pancasila diakui sebagai pandangan hidup bangsa, maka sudahseharusnya prinsip-prinsip itu di sampaikan kepada generasi muda melalui pendidikan dan pengajaran.
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?. Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Menurut Habibie, 2011 (dalam TempoInteraktif.com) ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah “lenyap” dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 — 66 tahun yang lalu — telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya.
Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
Jika kita mengingatkan kembali akan tujuan pendidikan nasional, Dalam Tap. MPR No.II / MPR / 1988 tentang GBHN tercantum : Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitasmanusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,  Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.Pendidikan nasional harus juga mampu menumbuhkan dan memperdalamrasa cinta kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikapserta perilaku yang inovatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.Dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 4), tertera :Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan yang berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan rohani dan jasmani, berkepribadianyang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara, dasar pendidikan Nasional adalah Falsafah Negara Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Tujuan Nasional ini perlu dilihat kembali dari sudut pandang yang lebih segar dan komprehesif. Perlu usaha yang lebih serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam tujuan pendidikan nasional untuk menjadi penggerak reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Tujuan Nasional ini harus dikhususkan langsung menjadi tujuan institusional, yaitu tujuan tiap lembaga pendidikan dari SD sampai Perguruan Tinggi. Tujuan pendidikan institusional yang masih sangat umum ini masih perlu diuraikan menjadi tujuan kurikuler dan selanjutnyadalam tujuan instruksional umum lazim dikenal sebagai TIU dan tujuaninstruksional khusus atau TIK. Buku pedoman kurikulum yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menguraikan tujuan sampai tingkat TIU, sehingga guru mendapat kesempatan untuk merumuskan TIK. Di sini kita harus hati-hati dan jangan memandang TIK sebagai tujuan yang terpenting yang harus dicapai. Kita keliru bila menganggap bahwa tujuan yang harus dikejar guru adalah TIK. Tujuan pendidikan apa yang ditentukan sebagai tujuan pendidikan nasional. Jadi TIK harus dipandang sebagai langkah untuk mencapai TIU, dan TIU suatu langkah pula guna mencapai tujuan kurikuler dan seterusnya sehingga segala usaha sekolah akhirnya bermuara pada tujuan pendidikan nasional.  . (dalam www.scribd.com/doc/52637003/asas-asas-kurikulum
Berdasarkan penjabaran diatas,  untuk menjawab pertanyaan  Cukup kuatkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat pendidikan di Indonesia? Maka disimpulkan bahwa  Pancasila akan kokoh dan harus dikeluarkan kembali dari lorong persembunyiannya. Para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan’ lagi dalam kehidupan kita. Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan masyarakat Indonesia.

SUMBER:
Diktat Kuliah, Asas-Asas Kurikulum, dalam http://www.scribd.com/doc/52637003/asas-asas-kurikulum
Masri Prima, 2009 Kedudukan, Fungsi serta Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam http://www.g-excess.com/4401/kedudukan-fungsi-serta-implementasi-pancasila-sebagai-dasar-negara/
Bacharuddin Jusuf Habibie, 2011. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. TempoInteraktif.com)